Sabtu, 20 November 2010

Penyakit Diare di Indonesia

Penyakit diare di Indonesia sampai saat ini masih merupakan salah satu penyakit endemis dan masih sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di masyarakat oleh karena seringnya terjadi peningkatan kasus-kasus pada saat atau musim-musim tertentu yaitu pada musim kemarau dan pada puncak musim hujan (Sunoto, 1990). Penyakit diare masih termasuk dalam 10 penyakit terbesar di Indonesia tahun 1999 sebesar 5 per 1000 penduduk dan menduduki urutan kelima dan 10 penyakit terbesar.
Program sarana air minum dan jamban keluarga (samijaga) telah digalakkan sejak tahun 1974, dengan harapan angka kesakitan dan kematian akibat diare akan berkurang. Namun demikian hingga kini penyakit diare masih tetap merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian, khususnya yang terjadi pada bayi dan anak di bawah lima tahun (balita). (Juianto P dan L. Ratna B, tahun 1999).
Pemerintah Indonesia telah berusaha meningkatkan program pengawasan diare dengan melakukan berbagai upaya penanggulangan, diantaranya dengan rnengembangkan larutan rehidrasi oral sesuai dengan anjuran WHO yang terdiri dari elektrolit, glukosa, yang lebih murah dan efektif untuk mengatasi dehidrasi non kholera (Depkes RI, 1993).
Prevalensi diare pada tahun 1997 adalah lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil survey pada tahun 1991 sebesar 11 % dan tahun 1994 sebesar 12%.. Pada tahun 1997 prevalensi diare lebih tinggi di daerah pedesaan daripada di perkotaan, tetapi membandingkan wilayah Jawa-Bali dengan luar Jawa-Bali tidak tampak perbedaan yang berarti (Julianto Pradono dan L. Ratna Budiarso, 1999).
Untuk mengetahui hubungan antara sanitas lingkungan dengan kejadian diare pada masyarakat perkotaan, telah diadakan suatu penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa tingkat V FKUI, diantaranya adalah KR Margawani, C Wawolumaya, Sudjatmiko, H Paramita, Iwj Naibaho, JD Berliana, E Sulistio dan D Arif.
Pemilihan sampel dilakukan dengan metode sampling kluster terhadap 1088 KK yang bertempat tinggal di RW 08 dan 09 Kelurahan Kayu Manis, Kecamatan Matraman Jakarta Timur pada 22-28 Juni 1996. Pengumpulan data survei dilakukan dengan mengunjungi dan mewawancarai kepala keluarga di tempat, informasi yang dikumpulkan antara lain meliputi masalah kesehatan lingkungan tentang sumber air yang digunakan oleh setiap KK, ternyata belum memenuhi standar kualitas air bersih sesuai peraturan Menkes RI No. 416 Tahun 1996 yaitu koli tinja sebesar 50/m, adanya koli tinja dalam sumber air menunjukkan bahwa sumber air tersebut kemungkinan besar juga tercemari oleh bakteri patogen lainnya yaitu Escherichia coli sendiri yang mempunyai strain-strain patogen penyebab diare.
Sampai saat ini penyakit diare masih merupakan masa1ah kesehatan rnasyarakat di Sulawesi Selatan. Hal ini dapat dilihat pada pencatatan dan pelaporan Puskesmas dan Rumah Sakit di Sulawesi Selatan pada tahun 1999 dimana penyakit diare menempati urutan keempat dari 10 besar penyakit rawat jalan dengan angka kesakitan 3,34 per 1000 penduduk.
Penyakit diare di Propinsi Sulawesi Selatan masih termasuk dalam 10 penyakit terbesar bahkan menduduki urutan pertama dengan angka kesakitan sebesar 58,2% tahun 2000 dan pada tahun yang sama jumlah penderita dan kematian akibat penyakit diare di Propinsi Sulawesi Selatan yaitu : umue < 1 tahun sebanyak 37.937 penderita dan yang mati 20 orang, umur 1-4 tahun sebanyak 53.282 orang penderita dan yang mati 13 orang, umur 5 tahun ke atas tercatat 125.407 orang penderita dan yang mati sebanyak 47 orang dengan CFR 0,02 % dan IR 26,58 %.
Penyakit diare di puskesmas Kaimana Kabupaten Kaimana Propinsi Irian Jaya Barat masih merupakan masalah kesehatan masyarakat setiap tahunnya. Pada tahun 2000 tercatat penyakit diare menempati urutan ke dua berdasarkan pola kesakitan 10 besar penyakit rawat jalan di Puskesmas, setelah penyakit infeksi akut lain pada saluran pernapasan bagian atas, dengan angka kesakitan 20,25 per 1000 penduduk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar