Sabtu, 20 November 2010

INDONESIA, Rokok, dan Kemiskinan

Dewasa ini, tercatat bahwa dari sekitar 1,2 miliar perokok aktif di dunia, 800 juta di antaranya berada di negara sedang berkembang yang total penduduknya saat ini berkisar 1,3 miliar jiwa (Tobacco and Poverty, Mary Assunta, 2004). Sementara sebagian besar penduduk negara yang sedang berkembang adalah kaum miskin dengan status sosial ekonomi yang sangat rentan. Ironisnya, lebih setengah (61,5%) dari mereka tercatat sebagai perokok.
Benua Asia, termasuk Indonesia, kini tengah menjadi pasar yang cukup menjanjikan untuk perkembangan industri rokok. Rokok telah menjadi barang konsumsi yang kosmopolit – dengan sangat mudah diperoleh dan dinikmati kapan, di mana dan oleh siapa saja, sekaligus dengan sejumlah akibat yang ditimbulkannya. Industri rokok yang kini perlahan bermetamorfosis menjadi bisnis multinasional, banyak memosisikan wilayah ini sebagai sasaran distribusi yang paling utama, di samping karena jumlah konsumen yang memang banyak, juga karena pemerintah di sebagian besar kawasan ini relatif bersikap “welcome” terhadap hal ini.
Dari sisi pendapatan negara, cukai rokok memang menempati grade primadona; sekitar 98% pendapatan cukai berasal dari dan yang berhubungan dengan industri rokok. Target pendapatan cukai rokok pada tiga tahun terakhir menunjukkan peningkatan berarti di tengah gencarnya kampanye anti rokok. Tahun 2003 lalu, pemerintah kita menargetkan pendapatan cukai rokok sebesar Rp 27,6 trilyun per tahun. Tahun 2004, target pendapatan negara dari sektor ini meningkat hingga Rp 28,9 trilyun. Kali terakhir, pemerintah melalui APBN-Perubahan meningkatkan target pendapatan cukai rokok sebesar 31,4 trilyun. Jumlah ini terus berubah dari tahun ke tahun.
Rokok, yang secara keseluruhan rumus kimianya CvHwOtNySzSi, dipercaya telah diperkenalkan oleh golongan Indian Amerika Utara yang disebarkan ke benua Eropa pada sekitar Abad XVI oleh Christopher Columbus. Di Indonesia, industri rokok mulai dikenal sejak 1870 hingga 1880-an khususnya di pulau Jawa, dan mulai menyebar ke luar pulau Jawa pada pertengahan abad XX (Onghokham, Amen Budiman, 1987 : 114). Studi yang dilakukan oleh Indriyanto OS, seperti yang terangkum dalam bukunya “Rokok Kretek dan Etiketnya (2000)”, mengungkap suatu fenomena menarik dalam permasalahan merokok. Indriyanto menemukan bahwa pada awalnya orang merokok bukan karena faktor gengsi, kejantanan maupun untuk merubah penampilan, tetapi lebih untuk menghilangkan rasa muak, batuk, pusing dan perasaaan tidak enak lainnya, sehingga mereka memilih bersekutu dengan rokok.
Sejalan dengan perkembangan zaman, agaknya fenomena yang diuraikan Indriyanto di atas sudah kurang relevan dengan kondisi saat ini. Banyak perokok diketahui memulai “pekerjaannya” ini justru karena rasa penasaran, gengsi maupun sejumlah perasaan yang membutuhkan kompensasi psikologis lainnya. Kondisi ini acap kali kita jumpai pada kalangan remaja yang mulai menunjukkan presentase yang cukup signifikan untuk bilangan kelas pemula. Banyak anak-anak di bawah usia 15 tahun yang telah kecanduan (addiksi) merokok, seperti yang terjadi di India, dimana tercatat sekitar 5 juta jiwa anak merupakan kelompok perokok aktif.
Di Indonesia, disinyalir sekitar 44 persen perokok aktif merupakan kelompok muda yang berusia 10-19 tahun dan 37 persen di antara mereka berusia 20-29 tahun. Artinya, sebagian besar perokok pemula di Negara ini berasal dari kalangan pemuda, pelajar dan tentunya mahasiswa – kalangan yang merupakan usia produktif dalam perspektif pembangunan. Diperkirakan sekitar 85 juta penduduk Indonesia usia remaja saat ini akan menjadi perokok berat dan 12-13 juta diantaranya akan tutup usia dalam usia setengah baya. Dengan tingkat pertumbuhan perokok yang sangat cepat ini, Indonesia diperkirakan akan mencapai rekor dunia sebagai negara dengan jumlah perokok pemula terbesar di dunia, melengkapi deretan sejumlah “gelar dunia” lain yang telah diperoleh selama ini.
Menurut Bank Dunia (World Bank), golongan masyarakat yang termasuk miskin adalah kelompok 40 persen terbawah dalam struktur distribusi pendapatan suatu masyarakat, sementara 40 persen pada bagian tengah merupakan kelompok middle class, dan 20 persen lebihnya adalah kelompok kaya. Untuk konteks Indonesia, kelompok 40 persen terbawah merupakan golongan yang mayoritas, sementara 4o persen kelompok middle sementara berjuang untuk bias tetap eksis di tengah buruknya iklim perekonomian bangsa saat ini. Dalam pada itu, jumlah perokok aktif di Indonesia saat ini berkisar 70 persen dari total penduduk atau sekitar 141 juta jiwa. Sebagian besar di antara mereka adalah kelompok miskin.
Kerentanan kelompok miskin daru implikasi ekonomi, social maupun kesehatan, menjadi perhatian tersendiri dalam kaitannya dengan besaran jumlah perokok aktif di kalangan mereka. Pada tahun 1990 saja, kerugian masyarakat akibat merokok yang tercatat adalah sekitar 14,5 trilyun. Angka ini belum termasuk kerugian pemerintah atas pemakaian fasilitas perobatan dan pelayanan kesehatan oleh perokok aktif yang menderita sakit akibat komplikasi merokok. Besarnya kerugian ini sangat tidak berimbang dengan jumlah pendapatan pemerintah dari cukai rokok yang hanya 2,6 trilyun rupiah.
Sementara jika dikalkulasi, angka belanja rokok masyarakat perokok Indonesia tahun 1990 mencapai Rp 100 trilyun, sangat kontras jika dibandingkan dengan volume belanja obat-obatan yang hanya sebesar 20 trilyun rupiah (Dirjen Yankesfar Depkes; 1990). Keprihatinan semakin bertambah jika kita memeperhatikan rasio antara angka tingkat belanja rokok masyarakat kita dengan tingkat pembelian buku dan surat kabar (pendidikan) yang mencapai 47 : 2 (Sidjatmokok; 2000). Fenomena ini bukan saja menggambarkan konsentrasi perokok hanya di kalangan kaum miskin dan minim kesadaran pendidikan saja, tetapi juga sekaligus menjelaskan bahwa tingkat kerugian masyarakat dan pemerintah akibat rokok jauh tidak proporsional disbanding keuntungan ekonomi yang melandasi peredaran industri rokok di Indonesia.
Untuk selanjutnya, dalam skala mikrososial, kerugian yang diakibatkan oleh rokok dan kegiatan merokok selalu lebih besar dibandingkan jumlah keuntungan yang diperoleh, meskipun tingkat pendapatan dari cukai rokok terus ditingkatkan. Untuk sector kesehatan, pada tahun 1950 hanya terdapat sekitar 300.000 kematian pertahunnya akibat kebiasaan merokok di seluruh belahan dunia. Satu setengah dekade berikutnya, angka ini melonjak lebih dari tiga kali lipat atau berkisar 1 juta, meningkat lagi menjadi 1,5 juta di tahun 1975 dan 3 juta kematian pada tahun 1990-an. Dari 3 juta kematian ini, 2 juta terjadi di negara-negara maju dan sisanya di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia. Dengan mengikuti pola progresifitas kematian akibat merokok di atas, maka pada tahun 2005ini diperkirakan akan terjadi kematian akibat merokok berkisar 4,1 juta jiwa. Angka yang sangat fantastis!
Kebiasaan merokok terbukti berkaitan dengan sedikitnya 25 (bahkan lebih) jenis penyakit yang dapat mengenai berbagai organ tubuh manusia. Sebagian besar kematian akibat kebiasaan merokok disebabkan oleh kanker paru, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), dan penyakit-penyakit karsinogenik lainnya. Tentunya, sejumlah keluhan klinis dan rasa ketidaknyamanan hidup (living discomfort) mengawali perjalanan penyakit-penyakit di atas. Konsekuensinya, semua ini membutuhkan biaya pemeriksaan dan perawatan kesehatan sebelum benar-benar “sakit” akibat kebiasaan merokok. Lazimnya, pengeluaran biaya terbesar terjadi pada proses perkembangan penyakit seperti ini. Khusus untuk keluarga miskin, prioritas hidup keluarga mereka akahirnya akan terbagi :antara upaya “bertahan hidup” dan ikhtiar untuk “mengobati” si sakit. Dilema ini semakin diperparah oleh realitas sebagian besar perokok di kalangan miskin adalah tulang punggung dalam pencarian nafkah keluarga serta masih dalam usia produktif,mungkin ayah atau anak laki-laki yang ada dalam keluarga tersebut.
Dominasi masalah akibat kebiasan merokok pada kaum miskin telah mengakibatkan kemiskinan structural yang selama ini menggejala, perlahan bermetamorfosis menjadi kemiskinan sirkuler, artinya kaum miskin yang dilanda musibah akibat merokok akan semakin bertambah miskin jika diperhadapkan dengan realitas seperti di atas. Selanjutnya, beragam masalah social lain memperoleh “legalisasi” untuk muncul sebagai bentuk “kompensasi” ekonomi keluarga pasien yang sakit kronik. Lebih ironis lagi jika kita coba mengingat bahwa tingkat pendidikan dan kualifikasi sumber daya manusia (SDM) sebagian besar mereka yang sangat rendah. Pada akhirnya, semua akan berakhir tragis : pasien akan meninggal akibat tidak mendapat perawatan kesehatan adekuat karena minim biaya, dan keluarga pasien akan kembali terjebak dalam kemiskinan yang jauh lebih berat daripada sebelumnya akibat kehilangan tenaga pencari nafkah dan kehabisan harta akibat biaya perawatan kesehatan si sakit sebelum meninggal.
Kompleksitas masalah merokok dewasa ini, semakin diperparah oleh minimnya keterlibatan pemerintah secara serius dalam menanggulanginya, bahkan kerap fenomena ini hanya dianggap angin lalu atau sebatas sebuah “kecelakaan” saja. Aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah rokok masih sangat sediki dan tidak cukup tegas menunjukkan komitmen perbaikan kehidupan rakyat. Peraturan Pemerintah No 81/1999 yang telah diperbaharui dengan PP No 38/2000 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, meskipun telah diberlakukan, tetapi law emforcement-nya belum ada, sehingga hanya terkesan untuk memuaskan kalangan pendukung kampanye anti tembakau saja. Belum lagi dengan ketaktegasan pemerintah dalam menjalankan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Tata Krama Periklanan. Sejauh ini, pelanggaran-pelanggaran atas peraturan yang ada menjadi kelaziman yang tak kunjung ditegasi oleh pemerintah, sementara kerugia akibat rokok, baik bagi masyarakat maupun bagi pemerintah sendiri, tetap terjadi dan berbanding lurus dengan peningkatan jumlah produksi dan variasi rokok di Indonesia.
Kehadiran KOMNAS PPM (Komite Nasional Penanggulangan Masalah Merokok) tidak lebih sebagai pelengkap formal yurisdiksi keterlibatan pemerintah dalam menanggulangi masalah merokok yang belum jalan maksimal, termasuk dengan belum ditandatanganinya Konvensi Pengawasan Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FTTC) yang disponsori oleh WHO. Belakangan, sikap ambigu pemerintah kembali ditunjukkan dengan merencanakan peningkatan harga rokok yang berkisar 10-15 persen sebagai upaya memenuhi FTTC, sementara pada sisi lain target pendapatan cukai rokok juga ditingkatkan. Benarkah pemerintah dapat dikatakan sungguh-sungguh menyelesaikan problem rokok di negara ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar